Telat gak sih bahas soal covid 19 berikut pandemiknya?
Setelah mengalami berbulan stay at home dan hanya keluar jika memang penting, ditambah semakin ke mari, semakin seram varian corona yang merajalela selama pandemik berlangsung.
Tapi, kupikir, meskipun begitu banyak hal buruk atau tak menyenangkan yang terjadi selama ini di diri kita, keluarga kita dan sekeliling kita, bukan berarti kita tak boleh memupuk harapan, mematikan motivasi dan tak ingin berpikir positif bagi kelangsungan masa depan hidup kita, kan?
Bisa jadi, semua ini sudah ditetapkan Allah, agar yang tersisa adalah manusia-manusia yang kuat berikhtiar, atau sebaliknya, yang diperkirakan perlu diuji agar naik kelas keimanannya dari yang level zero ke level hero, alias dari yang tak peduli soal keimanan, hingga akhirnya percaya dan beriman tentang takdir.
Bisa jadi, semua ini sudah ditetapkan Allah, agar yang tersisa adalah manusia-manusia yang kuat berikhtiar, atau sebaliknya, yang diperkirakan perlu diuji agar naik kelas keimanannya dari yang level zero ke level hero, alias dari yang tak peduli soal keimanan, hingga akhirnya percaya dan beriman tentang takdir.
Anyway, bukan itu sih yang ini aku tulis sebenarnya. Ya, emang ada kaitannya dengan pandemik juga. Namun, aku mencoba tidak menuliskan yang menyurutkan asa. Aku ingin menuliskan pengalaman yang kuanggap menarik dan siapa tahu berhikmah selama nyaris tujuh belas bulan merasakan jadi keluarga yang terimbas pandemik.
Hal utama yang perlu disyukuri saat ini adalah, dengan adanya pandemik, kita jadi bersama di rumah, dan mulai terbiasa untuk mesyukuri yang selama ini tak dirasakan.
Apa itu? Kalau aku pribadi, adalah sholat berjemaah. Ada sesekali sholat berjemaah dulu sebelum pandemik menerpa, yakni saat ayahnya anak-anak bisa pulang lebih cepat dari kantor, atau saat bulan Ramadhan, atau kala akhir Minggu dan kami tak kemana-kemana.
Sekarang ini, nyaris selalu bisa sholat berjemaah empat atau lima waktu sehari, terutama setelah ke mesjid sering dilarang, jika angka kenaikan kasus covid meningkat di kawasan rumahku.
Kondisi ini, berhasil aku dan suami manfaatkan, untuk membiasakan anak-anak, terutama anak kami yang kedua yang berkebutuhan khusus untuk lebih mengenal agamanya, melalui belajar mengaji dan sholat. Dari yang tadinya tak tahu, hingga akhirya merasa cukup nyaman mengaji dan belajar sholat, dirasakan oleh Aam. Ya, ini prestasi, karena sebelumnya, aku nyaris mengira tak ada harapan untuk mengenalkan agama pada anakku yang gifted child ini. Sering sekali perdebatan soal sesuatu yang bersifat dogma ini muncul di kepalanya yang selalu bersikap logis.
Alhamdulillah, meskipun masih terus berjuang hingga detik ini terkait ibadahnya, kami bisa dengan bahagia, terutama jika membandingkan dengan masa dua tahun lalu, bahwa betapa banyak perkembangan Aam terkait mengenal ibadah ini yang kami saksikan.
Memang, selama adaptasi atas WFH atas Kerja dari Rumah, hingga SFH atau Pendidikan Jarak Jauh (PJJ), aku mengalami fase naik turun. Apalagi, aku juga beradaptasi dengan anak bayi yang kuurus sendiri tanpa bantuan siapapun. Jangan tanya soal sakit pinggang atau sakit luka jahitan. Namun, kenyataan lain, bisa jadi aku juga membuat luka pengasuhan pada Billa dan Aam di awal PJJ, akibat sikapku sendiri berharap semuanya akan ideal. Aam bisa jadi akan tetap masuk top five di kelasnya, Billa bisa jadi akan lulus dengan nilai yang tidak sekedar lulus belaka.
Namun, faktanya, enam bulan pertama adalah ujian yang teramat sangat. Meskipun urusanku dengan sekolah baru Billa jika dia lulus SD, sudah selesai dan jelas, namun lagi-lagi menghadapi Aam adalah yang terberat. Aku sering sekali marah dan membuat Aam menangis.
Hal ini terjadi berlarut-larut dalam hitungan beberapa bulan, hingga akhirnya aku menyadari, tidak saja aku yang stress (dan ini bahaya bagi ibu menyusui, karena dapat menurunkan kuantitas dan kualitas asi), tapi Aam juga terluka atas sikapku. Dengan Billa, aku juga menghadapi cobaan ala abegeh. Tapi. untungnya tidak sesulit aku menghadapi Aam.
Akhirnya, berjuang dan berusaha membuat pikiranku lebih tenang, menurunkan target serta harapan, berpikir yang penting anak-anak nyaman dan bahagia di rumah selama pandemik, membuatku menjadi mengalah dan mencoba mundur teratur menyusun strategi baru.
Aku mengalah dalam urusan nilai anak-anak. Aku cukup menargetkan mereka bisa naik kelas. Aku juga belajar untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan fatal yang terjadi tanpa pernah kusadari. Tak mudah, tapi perlahan bisa.
Demikianlah, akhirnya dengan bermodal bolak balik mengoreksi diri, membicarakannya pada suami dan Mama yang selama pandemik tinggal denganku, mengajak anak-anak membuka diri lebih sering, serta belajar mempercayai mereka saat PJJ tanpa sibuk bolak balik menjadi detektif atau polisi pendidikan, aku berusaha mencoba ikhtiar soal PJJ tanpa harus sering marah-marah lagi.
Berhasilkah? Tidak 100 persen. Tapi emang tidak mudah mengubah kebiasaan sekolah biasa dengan sekolah daring beginikan?
Yang pasti, ada hal-hal yang patut kusyukuri juga, seperti Aam yang pernah menang lomba foto Ramadhan, serta lomba menulis tentang pandemik. Dia cukup konsen urusan corona ini. Sehingga saat ada lomba menulis tentang hal ini, dia menuliskannya dengan penuh semangat, dan masuk terbaik di sekolahnya.
Billa pun demikian. Di awal sekolah, aku berjibaku banget menghadapi karakter introvert dan pendiamnya dia. Aku tidak tahu kapan dia punya masalah atau tidak. Proses adaptasi kami memang cukup alot. Namun, akhirnya, Billa bersedia sedikit membuka diri. Kebiasaan yang kubuat selama beberapa waktu terakhir ini, yakni membacakan buku sebelum tidur, membantuku menjadi dekat dengan Billa dan Aam. Apalagi sejak adik mereka lahir, perhatianku benar-benar terpecah.
Untuk urusan sekolah Billa, aku juga pasrah, selama Billa bisa naik kelas, itu sudah cukup. Toh nilai tertentu seperti coding, bahasa Inggris dan beberapa nilai lain diraihnya dengan di atas rata-rata, meskipun separuh lainnnya dia berjuang untuk bisa lulus KKM saja.
Billa juga pernah menang dalam lomba menghias mie goreng yang diadakan kelasnya. Dia cukup percaya diri gara-gara itu. Dia juga kuikutkan lomba komik, meskipun tak menang, serta ikut kelas belajar komik. Hal yang siapa tau bisa membuatnya yakin jika dirinya punya kemampuan.
Semua itu bisa terjadi, karena dilakukan online. Sebagai anak yang introvert, belajar online menyenangkan baginya ternyata.
Dengan mencoba melihat sisi positif dari ujian pandemik ini, kukira, mood dan motivasi untuk terus menjaga diri dan keluarga dari segi kesehatan, bisa naik lagi. Kita bisa jadi sudah sangat jenuh dengan kondisi yang ada, tapi jika melihat tujuh belas bulan belakangan ini, ada banyak hal baik yang berhasil kita capai dan lalui, maka itu bisa jadi berarti, kita akan bisa juga menghadapi beberapa waktu ke depan, hingga pandemik ini berakhir.
InsyaAllah. Karena hanya pada mereka yang senang bersyukur atas hal kecil hingga besarlah, yang bisa mengarungi badai corona ini hingga kelak berlalu. Hanya pada mereka yang berusaha melihat sisi positif dari ancaman kesehatan yang ada, bisa jadi akan berhasil menjadi orang-orang tangguh di masa depan.
Siapa tahu, kita adalah mereka. Para ibu tangguh yang menjadi semakin super tangguh, setelah pandemik ini berakhir. Amiiin.
Siapa tahu, kita adalah mereka. Para ibu tangguh yang menjadi semakin super tangguh, setelah pandemik ini berakhir. Amiiin.
#pulihhati
#challengemenulisvol2
#pelukuntukperempuan
#kutuliskulepas
Semangat uni.. Membersamai anak spesial memang berbeda, huhu. Sy banyak belajar dari uni..
ReplyDeleteMemang tak akan mudah. Semoga jadi ladang pahala bagi para orang tuanya ya... amiiin
DeleteMasyaaAllah banyak belajar lagi dari catatan ini, sehat selalu untuk uni dan keluarga❤️
ReplyDeleteDoa yg sama utk mbak chriesty, saya juga belajar tangguh dr dirimu... subhanallah
Delete