gambar pinjem dari pinterest.com |
Alunan suara
seorang hafizh di smartphone mengisi keheningan dalam mobilku. Putri sulungku tertidur
di kursi depan. Ia baru selesai kupaksa mendengarkan surah Al Bayyinah.
Itu untuk persiapan ujian tahfiznya pagi ini di sekolah. Namun, kondisi mengantuk
dan mungkin letih mental habis kuomelin, membuatnya ingin mengistirahatkan diri.
Diomelin?
Iya... kuomelin.
Aku menarik napas.
Kulirik sekali lagi dia. Kondisi jalan yang agak macet memungkinkan buatku menatap
wajah innocentnya agak lama. Matanya terkatup rapat. Napasnya teratur. Tapi aku
tahu. Billa, putri sulungku lelah.
Seketika, rasa
sesal menggelayut di dalam hati.
Pagi ini, kurusak
suasana rumah dengan omelanku.
"Bill...
kenapa melamun terus sih!. Minum susu melamun. Disuruh pake seragam melamun.
Mau sholat melamun dulu. Billa tahu nggak, kalau melamun itu temannya
setan!"
Suaraku membahana.
Bisa jadi memekakkan telinga kecilnya. Entah kutipan darimana, jika aku
menyimpulkan kalau melamun itu teman setan. Aku hanya mengucapkannya agar
putriku berhenti melamun. Rasa nyeri di tengkuk dan bahuku akibat asam urat yang
tinggi mendukung emosi mengomel.
Mata Billa berkaca-kaca. Tapi sepertinya setan sudah menjadi temanku. Air yang tertahan di matanya tak
membuatku diam. Aku terus berbicara dengan suara tinggi perihal kelambanannya
berpakaian, kebiasaannya melamun dan tidak fokus. Pokoknya segudang kesalahannya di
mataku.
Denyut rasa sakit
di tengkuk semakin menjadi. Aku akhirnya memilih duduk dan mengatur oksigen yang masuk ke paru-paruku. Ini
semua harus kustop. Harus kuhentikan. Sesaat aku merasa..., aku telah berubah
menjadi monster.
Billa mendekatiku. Saat itulah, kulihat matanya yang terluka. Aku ikut terluka.
“Tolong sisirin
rambut Kakak, Bund.” Ucapnya lirik diselingi sedan lemah. Billa masih menunjukkan kalau ia butuh aku. Ibunya.
Badanku melemas. Hatiku
terhempas. Aku menyakitinya. Putri yang kehadirannya ada setelah hampir 9
tahun pernikahanku.
“Tiiin... ! Tiiin!”
Suara klakson dari
mobil belakang membangunkanku dari lamunan. Alunan surah Al Bayyinah sudah berganti
dengam surah Az zalzalah. Billa semakin terlelap dalam tidur paginya.
Perjalanan kami ke sekolah baru separuhnya. Sekarang kemacetan tak begitu berarti.
Roda kendaraanku berjalan pelan namun terus bergerak. Kondisi ini sedikit
menghibur, meski aku sesekali tetap meringis menahan sakit di tengkuk. Serta
menahan pilu di satu bilik hati.
Apakah aku bukan
ibu yang baik, ya? Apakah aku seorang monster? Apakah aku gagal menjadi Ibu yang baik, seperti
yang dikatakan para ahli dan pakar parenting di banyak buku yang kubaca? Apakah
aku telah menghancurkan jiwa kecil Billa? Selumbung rasa bersalah menutupi
hati. Rahangku mengeras. Ada apa dengan aku?
Sekilas aku teringat betapa Billa begitu romantis. Ia begitu ekspresif menyatakan cinta dan sayangnya padaku. Pelukan, celotehan dan tulisannya selalu menunjukkan jika ia sangat mencintaiku. Apakah cintaku tak sebesar milik Billa?
Billa Yang Romantis. Selalu membuatku luluh dengan surat cintanya |
Tak terasa air
mataku ikut mengalir. Selalu begitu. Penyesalan datang belakangan. Panas di
ujung mataku tak mampu bertahan. Emosiku jebol. Airmata itu mengalir deras namun tanpa suara. Kembali kulirik Billa dan juga Aam, putra bungsuku, yang suara dengkur halusnya terdengar dari
kursi belakang. Beruntung mereka tidak melihat tangisku pagi ini.
Saat tisu mengelap
basah pipi, ingatanku seperti ditarik pada setiap fase dalam hidupku 10 tahun
terakhir. Saat aku meratapi nasibku yang sudah 6 tahun menikah, namun belum
dikarunia anak. Ketika aku harus memilih antara melanjutkan sekolah atau fokus
pada terapi kehamilan. Di waktu harus menentukan pilihan antara fokus pada anak-anak atau kerja
di Palembang sebagai dosen dan PNS.
Satu demi satu
lembar masa lalu dan pilihan hidup itu menari di kepalaku.
Akhirnya, aku memilih jadi
seorang Ibu.
Tapi hari
ini...aku merasa gagal menjadi seorang Ibu. Aku bagaikan monster yang berujud Ibu. Airmataku kembali
mengalir. Aku tak bisa memperbaiki yang sudah terjadi. Aku masih harus belajar memperbaiki
kelakuanku, mengingat kembali alasan aku mengemis pada Allah untuk diberi keturunan serta meyakini jika semua ujian anak padaku
selama ini harus mampu kuhadapi.
Ujian kesabaran.
Ujian utama menjadi seorang ibu. Aku sering merasa gagal jika yang diuji
masalah mental ini. Referensi hidup terdekat adalah Mamaku. Seorang perempuan
penyabar yang cenderung memilih diam dalam marahnya. Aku tak ingat kapan
terakhir mendengar suaranya meninggi. Karena ia tak pernah memilih menaikkan
suara saat memarahiku. Ia memilih kata-kata yang sedikit menghujam jantung, sehingga
aku dan adik-adikku kapok sekapok-kapoknya, sampai tak berani mengulangi
kesalahan yang diomelin Mama.
“Berwudhulah,
Dian.”
Itu juga, nasehat yang
paling sering dikatakan beberapa orang dekat, termasuk suamiku. Ini salah satu
jurus agar kemarahanku menurun. Agar omelanku dengan suara tinggi mereda. Agar
sikap buruk tak sabar menghilang terbang.
Sesaat aku kembali
ke dunia nyata. Mobil harus kubelokkan ke kiri. Aku membelokkannya agak tajam. Sehingga Billa
terbangun dan ia menyipitkan matanya karena menahan cahaya.
“Kita sudah hampir
tiba di sekolah. Bangun, Kak!.”
Masih ada nada
emosi di suaraku. Astaga... sulitnya menurunkan emosi agar tidak lagi mengomeli
putri cantikku ini. Bayangan menjadi Ibu dengan suara yang lembut dan karakter yang santun, lenyap sudah. Aku mencoba. Tapi suaraku tidak mewakili usahaku.
Billa memperbaiki
posisi duduknya. Meletakkan smartphoneku ke dalam tasku.
“Kakak hanya mampu menghapalnya setengah surah, Bund.” Katanya lirih.
Aku segera mengangguk
memaklumi. Kali ini, aku bersyukur berhasil memakluminya. Tak semua anak memiliki
kemampuan cepat menghapal. Harusnya aku ingat itu tadi malam. Tak semua anak
memiliki daya ingat yang kuat. Harusnya itu yang kujadikan patokan sebelum mengomel
semalam dan tadi pagi.
Kuparkir mobil di
lapangan luas sekolah Billa. Kami sepertinya agak terlambat Tapi aku
sudah tak begitu memikirkannya. Aku tengah membenahi hatiku sebagai
seorang Ibu. Apa yang dilakukan seorang Ibu yang telah bersalah seperti aku?
Bagaimana sikap yang harus kulakukan karena kadung mengomeli Billa sedemikian
rupa?. Dan terus terang... ini bukan kali pertama. Meski aku tidak sering
melakukannya. Biasanya jika pekerjaan rumah menumpuk, kesehatanku yang memburuk, ide menulis tak tertumpahkan dengan baik dan
kondisi sekitar yang tak mendukunglah yang memicuku menjadi pemarah.
Ah... alasan itu lagi.
Batinku marah pada diri.
Fokusku kemudian teralih. Billa sudah siap turun dari mobil. Aam masih tertidur. Kupilih
menurunkan jendela sedikit agar oksigen tetap masuk. Kukunci pintu. Jarak parkiran dengan pintu
gerbang, hanya 15-20 meter. Aam akan baik-baik saja di dalam mobil.
Billa menarik
tanganku dan menggenggamnya. Seperti hari-hari yang lalu. Kulirik Billa untuk kesekian
kalinya. Ia terlihat biasa saja. Air matanya yang mengalir semalam dan sebelum
berangkat sudah tak berbekas. Namun, apakah hatinya masih sakit akibat omelanku? Aku tak tahu dan tak berani untuk menerka.
“Semangat ya, Nak.
Semoga berhasil UAS hari ini.” Kataku mencoba tenang dan tegas seperti biasa.
Tapi tenggorokanku sakit. Hatiku perih. Aku tahu, ada yang salah dengan sikapku. Hati
kecilku tahu. Kutahan agar hawa panas di ujung mataku tak memancing air mata
lagi. Kutelan ludah. Getir kurasa.
“Iya Bund.” Senyum tipis mengulas di bibir kecilnya.
Ah, Billa.... Andai aku bisa menceritakan bagaimana jatuh bangunnya aku belajar menjadi Bundamu. Prosesnya tidak pernah mudah, Nak. Ini adalah perjuangan Si pemarah yang sudah berumur
40an tapi baru punya anak usia 7 dan 3 tahun.
Terus terang aku iri pada para
Ibu yang selalu berbagi cerita jika mereka tak pernah marah. Suara mereka
selalu lembut saat tak suka atas sikap anaknya. Aku belum bisa. Sepertinya aku masih jauh
dari sikap seorang Ibu yang sempurna.
Tapi, aku selalu
berusaha memperbaikinya. Bukan pekerjaan mudah. Karena pekerjaan menjadi Ibu, memang tak pernah mudah. Ada banyak kewajiban atas diri seorang Ibu. Meski pula ada hak di
dalamnya.
Aku pernah membaca, begitu banyak hal yang harus diperhatikan, saat berperanan sebagai ibu.
Aku harus berusaha
keras untuk tidak membohongi Billa dan Aam. Aku juga perlu menghargai
setiap usaha Billa dan Aam sekecil apapun. Meski tak mudah, aku juga berusaha
adil atas mereka berdua. Usahaku juga ditambah, dengan mencoba tidak menghina Billa
dan Aam dengan kata-kata julukan kasar. Serta menepati janji pada mereka
semampuku. Sejauh ini cukup berhasil.
Kewajiban lain yang juga sulit adalah harus berusaha tidak membanding-bandingkan Billa dengan Aam. Masing-masing
memiliki kelebihan masing-masing. Apalagi Aam dan Billa seperti langit dan
bumi. Seperti air dan minyak. Sungguh sulit untuk tidak membandingkannya. Namun
tugasku untuk berusaha membuat mereka nyaman dengan diri mereka sendiri.
Dalam proses
belajar menuntaskan kewajiban, bukan tidak mungkin aku mengalami
kesulitan. Seperti tingginya suaraku saat marah. Atau lama mengomeli Billa hingga ia menangis. Saat itulah, jika aku tak berhasil menahan emosi, aku berubah
menjadi Monster dan bukan Mother.
Namun, aku percaya. Ibarat bayi yang berada pada fase belajar berjalan. Sekali jatuh, jangan pernah menyerah untuk berdiri dan belajar jalan lagi. Sekali belajar menjadi Ibu, maka berusaha keras menjadi
Mother yang bukan Monster.
“Emmm... Kak.” Kalimatku
tertahan. Kutatap kedalaman matanya yang bening. Bahasa tubuhnya sudah tak sabar untuk
melangkah ke arah gedung sekolahnya.
“Kakak tahukan,
kalau Bunda marah bukan karena benci pada Kakak?” tanyaku perlahan.
Senyum tipisnya kembali muncul. Billa mengangguk tegas.
“Bunda kan kalo marah
karena Bunda sayang Kakak. Karena Bunda ingin Kakak patuh. Iya kan, Bund?” jawabnya berupa tanya, namun bernada ceria.
Aku menarik napas
dan merasakan sesak dada sesaat. Anak kecil ini lebih pengertian bahkan lebih pemaaf dari pada aku,
Ibunya.
“Iya. betul, Kak.” Kupeluk Billa. Kualihkan rasa bersalah menjadi rasa cinta yang besar. "I love you," lirih kukatakan mantra 3 kata itu dekat telinganya.
“I love you too,
Bunda.” Dibalasnya pelukanku. Pelukan yang selalu kami lakukan sejak Billa masuk kelas 2 SD. Sudah 6 bulan kami melakukan itu. Tujuan utamanya, agar Billa
merasa nyaman. Sejauh ini, prosesi memeluk ini memang mempengaruhi emosi kami berdua. Bahkan pagi ini, justru hatiku terasa nyaman setelah memeluk tubuh mungilnya.
Kucium pipinya
yang licin. Mata Billa kembali berbinar. Billa bisa jadi memaafkanku. Meski aku
dapat mengira, ada sesaat ia merasa terluka atas omelanku. Kulepaskan tubuhnya untuk melangkah
menuju kelas. Beberapa langkah menjauh dariku, Billa menoleh dan melambaikan
tangan ke arahku.
Ah..., Aku harus
belajar darimu, Nak. Belajar menjadi pemaaf. Sekaligus belajar menjadi Ibu yang memaklumi kekurangan anaknya. Termasuk kekurangan diri Bunda sendiri.
Maafkan Bunda, ya Bill...
Maafkan Bunda, ya Bill...
*Kutulis karena rasa malu atas sikap pemarahku. Semoga Allah menguatkan mental anak-anakku karena memiliki Ibu yang sering gagal berhasil mengalahkan sikap pemarahnya. :(
***
Tulisan ini diikutsertakan dalam GA Sejuta Kisah Ibu
Jadi haru membaca kisah ini, semoga terus mnjadi ibu yg baik untuk bila dan berproses mnjadi lbh baik serta lebih penyabar.marahnya ibu sbnarnya tnda sayang kpda anaknya
ReplyDeletesaya mencoba berpikir begitu juga mbak meutia... tapi terkadang... susah benar untuk melembutkan hati saya...
Deleteterima kasih sudah membaca dan turut mendoakan saya yaaaa
Hiks..billa..memang susah sekali meredakan kemarahan bila terlalu lelah..butuh istirahat sejenak
ReplyDeleteiya mbak @dian...
Deletekadang harus menjauhkan diri... apalagi penyesalan yang muncul belakangan..:(
Huaaah dosen killer dong uni dulu xixixxi. Aku juga uni kini sering jadi monster, secara beranteman aja dua anakku hiks
ReplyDeleteiya... uni dosen killer memang... tapi hanya di kelas. tidak di luar ruang kuliah kog yuk..
Deletesama anak2 ini uni suka naik pitam,.. jika kondisi tak bersahabat. terutama lagi ada sakit atau kurang tidur lelap. ini masih jadi pelajaran berat buat uni...
apalagi kalau yayuk ya..punya 3 anak skarang..:)
Aku ikut sedih bacanya.. Tidak ada ibu yang sempurna, tapi berusahalah sebaik2nya menjadi ibu yg baik. Tfs, uni..
ReplyDeleteIya betul leyla... berusaha mengatah ke baik... makasih sudah mampir yaaa
DeleteAwwhh.. Billa so sweet <3
ReplyDeleteTenang Un, ada teman. Saya juga masih belajar menjadi ibu yang baik dan benar buat anak-anak saya ;)
Makasih udah sharing Sejuta Kisah Ibu di rosimeilani.com
Pantengin apdet peserta GAnya di sini: http://rosimeilani.com/2015/12/06/daftar-peserta-ga-sejuta-kisah-ibu/
Iya... kadang gak mau marah ceu. Tapi ya gitu..kalau udah capek atau badan gak enak... anak2 jadi kena imbasnya.. hiks..
DeleteBtw
Alhamdulillah baca link terbaru eceu... saya masuk daftar pemenang. Semoga kebagian kaosnya nih. Hahaha
http://rosimeilani.com/2015/12/20/pengumuman-pemenang-ga-sejuta-kisah-ibu/
DeleteNangiiis, mbaconyooo, hiiiksss.... Ayuk Bila, kalu Bunda marah sini, ke Lampung bae... Eh, idak, dink... :D
ReplyDeleteNice story, Uni. Sebuah kisah yang bisa menjadi bahan perenungan banyak ibu.
Iya izzah... kadang2 ngenyes. Tp pas marah lupo samo kesalahan diri. Hiks
DeleteBilla cantik ya Mak. Aku juga kadang sula marah2 sama anakku. Abis itu nyeselll...
ReplyDeleteAlhamdulillah... si billa idung pesek dibilang cantik. Hehehr. Sudah sempurnalah hidungnya hehehe...
DeleteIya mak... nyesel bangey yaa
semoga Billa menjadi anak sholehah yaa :)
ReplyDeleteAmin ya Allaaaaah
DeleteSaya juga hingga hari ini berusaha menjadi ibu yang baik mba. Kadang saya juga suka kelepasan marah ama anak aaya :(
ReplyDeleteSebetulnya sudahlah marah... suara sayapun tinggi. Jd kesannya galak banget. Hiks...
DeleteSemoga kita bisa belajar semakin sabar ya mbak...
sama kaya saya mba, masih suka marah sama anak padahal klo terjadi sesuatu sama mereka kitalah yang juga mewek paling keras ya. yuk belajar sama-sama bun jadi ibu yang penyabar.
ReplyDeleteIya mbak
DeleteYuuk mbak.. berusaha terus bersabar. Meski susahnya minta ampun
Nyaris tiap hari, aku ga pernah brenti ngomelin Sidqi, my only son. Juengkeeeel banget liat kelakuan doi. tapi, suatu ketika aku ketemu temen yg blum punya anak (setelah 10 tahun menikah) dan bolak/i ia mengatakan bahwa aku harus bersyukur punya anak seperti Sidqi, dan yeah... perlahan hobi marahku berkurang (walopun belum ilang 100% sih heheheh)
ReplyDeletebukanbocahbiasa(dot)com
Saya sering juga diingatkan ibu saya. Krn Billa juga baru saya dptkan di usia pernikahan ke 9 thn. Hiks
DeleteTanpa ung sadari air mata mengalir deras baca crita bunda Dian..terkadang krn keegoisan n keinginan diri sndri,ung terkesan memaksakan anak2 utk sllu sempurna..astaghfirullah..ketika mreka sdkit melakukan kesalahan yg sbnrnya wajar terjadi utk umur anak yg bru 3-4 thn,ung bs marah nya sprti pd org dewasa..Ya Allah..Skr sdh mulai berkurang sedikit demi sedikit..kekuatan air wudhu itu memang besar ya bund..makasih bunda dian..slm sayang bwt si sulung kk Billa dan si kecil Aam..sukses n trs berkarya bwt Bunda Dian#bighug
ReplyDeleteIya uung... memang harus dikontrol. Dan itu ujian kita jadi orang tua...smg sama2 dikuatkan kita yaaa
Deletehiks aku juga ibu pemarah unii...
ReplyDeleteMungkin semua ibu pemarah demi kebaikan ya dew.... 😅
Delete