Jul 25, 2014

(FF) Lebaranku dan Nunung

                                          
sumber dari sini


“Syukurlah, kamu bisa datang hari ini, Nung. Saya lumayan kelabakan nyetrika, kalau tak ada kamu.” Aku tersenyum ke arah Nunung, pembantuku yang baru datang, seminggu setelah lebaran.

Nunung tak menjawab. Ia membisu.

“Bagaimana pakaian anak-anak? Pas di badan mereka?” tanyaku mencoba memecah hening.

Nunung masih terdiam. Aku mengerutkan kening. Kucoba mengalihkan pikiran negatif, bahwa mungkin Nunung mulai tak betah kerja di tempatku.

“Perjalanan pulang kampungnya, gimana Nung? Lancar? Ibu dengar macetnya Pantura minta ampun,ya?” Sekali lagi kucoba memecahkan kesunyian dapur pagi ini.

Nunung menunduk. Tangannya menggenggam kain lap untuk membersihkan meja dapur. Kuperhatikan kalau Nunung tidak melakukan aktivitas apa pun, kecuali bolak-balik mengelap di tempat yang sama.

“Nung?” kutegur ia perlahan. 

Tak lama, kudengar isak lemah dari Nunung. Waduh, sekarang apa lagi nih? Pikirku setengah kaget.

“Aku tidak mau pulang kampung lagi, Bu.” Kali ini isak perlahannya pecah menjadi tangisan.

“Hati ini sakit sekali, Bu. Bapaknya anak-anak, akhirnya ngaku di depan keluarga, kalau dirinya selingkuh, dan selingkuhannya lagi hamil. Kami akan bercerai.” Tangisan Nunung mengubah suasana dapur pagi ini.

Aku memandangnya, hatiku ikut perih. Lebaran kali ini, pasti bukan hari raya yang ingin diingat Nunung. Aku hanya bisa mengelus ringan punggungnya beberapa waktu.

“Yang kuat ya, Nung. Allah tahu yang terbaik.”


Kutinggalkan Nunung dan masuk ke kamar. Kutarik nafas perlahan, menahan gejolak emosi. Perlahan kubuka surat di meja kerja. Berkas dari pengadilan yang harus kutandatangani. Sebuah surat yang akan membuat statusku sama seperti Nunung.

***

237 Kata termasuk Judul

2 comments:

  1. hiks... nyesek ceritanya. dua-duanya mengalami nasib serupa pas momen lebaran pula :(

    ReplyDelete