sumber dari sini |
“Syukurlah,
kamu bisa datang hari ini, Nung. Saya lumayan kelabakan nyetrika, kalau tak ada
kamu.” Aku tersenyum ke arah Nunung, pembantuku yang baru datang, seminggu
setelah lebaran.
Nunung tak
menjawab. Ia membisu.
“Bagaimana
pakaian anak-anak? Pas di badan mereka?” tanyaku mencoba memecah hening.
Nunung masih
terdiam. Aku mengerutkan kening. Kucoba mengalihkan pikiran negatif, bahwa
mungkin Nunung mulai tak betah kerja di tempatku.
“Perjalanan
pulang kampungnya, gimana Nung? Lancar? Ibu dengar macetnya Pantura minta
ampun,ya?” Sekali lagi kucoba memecahkan kesunyian dapur pagi ini.
Nunung
menunduk. Tangannya menggenggam kain lap untuk membersihkan meja dapur.
Kuperhatikan kalau Nunung tidak melakukan aktivitas apa pun, kecuali
bolak-balik mengelap di tempat yang sama.
“Nung?”
kutegur ia perlahan.
Tak lama,
kudengar isak lemah dari Nunung. Waduh, sekarang apa lagi nih? Pikirku setengah
kaget.
“Aku tidak
mau pulang kampung lagi, Bu.” Kali ini isak perlahannya pecah menjadi tangisan.
“Hati ini
sakit sekali, Bu. Bapaknya anak-anak, akhirnya ngaku di depan keluarga, kalau
dirinya selingkuh, dan selingkuhannya lagi hamil. Kami akan bercerai.” Tangisan
Nunung mengubah suasana dapur pagi ini.
Aku
memandangnya, hatiku ikut perih. Lebaran kali ini, pasti bukan hari raya yang
ingin diingat Nunung. Aku hanya bisa mengelus ringan punggungnya beberapa
waktu.
“Yang kuat
ya, Nung. Allah tahu yang terbaik.”
Kutinggalkan
Nunung dan masuk ke kamar. Kutarik nafas perlahan, menahan gejolak emosi.
Perlahan kubuka surat di meja kerja. Berkas dari pengadilan yang harus
kutandatangani. Sebuah surat yang akan membuat statusku sama seperti Nunung.
***
237 Kata termasuk Judul
237 Kata termasuk Judul
hiks... nyesek ceritanya. dua-duanya mengalami nasib serupa pas momen lebaran pula :(
ReplyDeletetapi ini fiksi lho Ika..heheheh
ReplyDelete