By Dian Onasis
Mendung memeluk langit. Kawasan Teluk Qoridra ikut
menggelap. Guri memandang ke angkasa. Tangannya, atau lebih tepat, tentakelnya
yang berjumlah delapan, bergerak ke sana ke mari memastikan semua peralatan di
dekatnya, berjalan dengan baik.
“Hai, Paman Guri!” sapa suara kecil dari arah jendela.
Guri segera tahu, siapa yang datang. Wajah mungil milik
Camira, si burung camar muda yang sering mampir ke kantornya, terlihat tersenyum
cerah.
“Hai, Camira. Lupa dengan sopan santun bertamu lagi?”
sindir Guri sambil pura-pura memasang wajah galak.
Wajah
manis Camira langsung memerah. Sering sekali, Camira masuk melalui jendela.
Meski sudah diingatkan oleh Guri untuk menggunakan pintu dan belajar mengetuk
dulu sebelum masuk, namun Camira selalu lupa. Buru-buru, Camira berputar, terbang
dan berdiri di depan pintu. Ia lalu mengetuk pintu secara perlahan dengan
paruhnya.
“Silahkan masuk,” jawab Guri sambil menahan geli.
“Maaf ya Paman, aku lupa kalau datang bertamu, harus masuk lewat
pintu depan, bukan jendela. Habisnya, jendela kantor Paman selalu terbuka, dan
seperti mengundangku untuk segera masuk,” dalih Camira dengan lirih. Ia
terlihat khawatir, kalau Guri akan marah. Namun, wajah Camira segera cerah
kembali, ketika dilihatnya senyum menghias wajah Guri.
Guri melanjutkan kegiatannya. Camira mendekat perlahan,
sambil memperhatikan gerakan tentakel Guri. Tentakel yang satu sedang asyik mencatat,
beberapa lainnya mengutak atik beberapa tombol. Ada juga satu tentakel sedang memastikan
sebuah alat berada di posisi yang tepat. Lucunya, ada satu yang memegang
secangkir kopi yang masih mengepul.
“Waaah, Paman benar-benar sedang sibuk.” Camira memperhatikan
Guri lebih dekat. Guri mengangguk, dan dari ujung matanya, Guri meminta Camira
melihat ke arah Selatan. Langit terlihat semakin menghitam.
“Astaga, ternyata itu yang membuat Paman sibuk? Mengapa
langit itu menghitam? Apakah akan datang badai?” suara Camira terlihat cemas.
Ia paling tidak suka badai.
“Sepertinya begitu. Aku sedang memastikan semuanya dalam
kondisi baik-baik, atau minimal sudah tahu keadaan dan cuaca yang datang,” jelas
Guri.
Guri melirik kembali ke arah langit. Angin mulai terasa
lebih kencang dari biasanya. Tentakelnya semakin sibuk mengutak-atik beberapa
alat. Guri sudah tak memegang kopi lagi, karena sudah masuk ke dalam perutnya yang
berwarna pucat.
“Bagaimana kita bisa tahu kalau benar-benar akan datang
badai, Paman? Bukankah dulu pernah seperti akan badai, tapi ternyata hanya
segumpalan awan hitam yang lewat?” tanya Camira.
Guri tersenyum. Empat dari delapan tentakelnya sudah tak
terlalu sibuk lagi.
“Kita bisa membacanya cuaca melalui alat-alat ini.” Guri
menunjuk beberapa benda di dekatnya. “Yang
ini adalah Termometer, sebagai alat yang mengukur suhu udara. Dengan ini kita
tahu suhu udara makin mendingin atau memanas. Jika badai mau datang, umumnya
suhu udara lebih dingin.” Kata Guri menunjuk sebuah benda yang menempel di
dinding kantornya.
termometer |
Camira memandang benda kecil, yang bagian bawahnya agak bulat menggelembung. Terdapat banyak angka di badan benda itu.
Hidrometer |
“Nah,
kalau yang ini Hidrometer, alat pengukur kelembaban udara. Ini sama pentingnya
dengan Termometer. Kita juga butuh Anemometer dan Wind Vane,” kata Guri sambil
menunjuk tiga alat lainnya. Camira memperhatikan satu demi satu benda itu. Ada
yang mirip Termometer, namun diletakkan di dekat sebuah ember kecil. Lalu ada tiang yang penuh bulatan setengah
bola, dan ada yang seperti penunjuk arah mata angin, dengan putaran khusus di
atasnya.
“Untuk apa Ane…?, Ane apa tadi Paman?” Camira kesulitan
menyebut nama alat tadi.
Anemometer |
“Anemometer,” tegas Guri. “Alat ini untuk mengukur
kecepatan angin. Sedangkan Wind Vane, yang ada arah mata angin itu adalah alat
untuk mengetahui arah angin.” Lanjut Guri menunjuk alat yang bagian atasnya
terdapat gambar kapal.
“Ini
hanya variasi saja, Camira. Ada juga yang bagian atasnya lambang kuda, ayam atau
bahkan bola dunia.” Guri menjelaskan sambil tersenyum, memperhatikan Camira
yang terlihat tertarik dengan lambang kapal di atas alat Wind Vane. Camira
mundur dari Wind Vane, lalu kembali mendekati Guri.
Wind Vane |
“Nah,
apabila angin kecepatannya di atas 88 – 102 km perjam, bisa dipastikan badai
sudah terjadi. Sedangkan kondisi laut, dapat dilihat dari gelombang laut akan meninggi
dan makin tinggi. Lalu muncul buih memutih dan membuat permukaan laut memutih,
biasanya gulungan ombak akan menjadi sangat dasyat. Sehingga kamu, Camira, tak
akan dapat melihat apa-apa dihadapanmu,” lanjut Guri.
Camira menggidik. “Apakah sekarang akan badai, Paman?”
lirih Camira menahan takut.
Guri memperhatikan angka-angka di atas alatnya.
“Hemmm, sepertinya bukan badai, tapi mungkin angin yang
sangat kuat. Kita tetap harus waspada, Camira.”
“Duh, kalau sampai terjadi badai, apa yang harus kita
lakukan, Paman?” desak Camira.
“Hemmm,” Guri mendehem lagi. Camira tak begitu suka kalau
Paman Guri seperti itu, karena tentakelnya ikut-ikutan menari-nari. Tak jarang,
tanpa sengaja salah satu tentakelnya menjitak kepala Camira.
“Kalau memang terjadi badai, kita harus menyiapkan beberapa
hal. Seperti menyiapkan cukup air untuk persediaan minum, juga makanan. Yaaah
kita harus membeli makanan kaleng dari supermarket milik Pak Akung si Anjing
laut. Kamu juga jangan mendekati perabotan yang menghantar listrik, tapi
gunakan yang unsur kayu, seperti kursi kayu atau bersembunyi di ruangan
berunsur kayu. Jangan lupa untuk menyiapkan kompor portabel untuk memasak,
tentunya dengan cadangan gas. Oh iya, siapkan juga cemilan. Kau kan suka
cemilan ikan teri. Itu bagus untuk disiapkan di kamarmu,” jelas Guri.
“Waaah, sepertinya memang harus menyiapkan payung sebelum
hujan, ya Paman?” kata Camira sambil kembali mengepakkan sayapnya. Kali ini
sebagai tanda senang mendapat pengetahuan baru hari ini.
“Sekarang, lebih baik, kau pulang ke rumah kakekmu, Camira.
Angin mulai makin naik kecepatannya, meski belum tentu badai, tentu akan lebih
aman bagimu, untuk tetap berada di dalam rumah dan berkumpul bersama keluarga.
Biar aku lanjutkan pekerjaanku, ya,” pinta Guri pada Camira.
Camira mengangguk mengerti. Ia pun segera berjalan ke arah
jendela dan bersiap mengepakkan sayapnya, ketika tiba-tiba Guri menegurnya
kembali.
“Lewat pintu, Camira.”
Dengan wajah bersemu, Camira membelokkan kakinya dan
membuka pintu kantor Guri yang sekaligus merupakan mercusuar. Tak lama Camira
mengepakkan sayapnya, berusaha menghindari cuaca buruk, lalu terbang menuju
rumahnya.
***
Diikutkan dalam lomba winnercity
Diikutkan dalam lomba winnercity
ceritanya sangat menarik dan mendidik , senang bisa membacanya mba Dian . early memang harus banyak belajar dari mba Dian :)
ReplyDeletehai mbak early,...
Deletemasih ada beberapa typo di naskah ini, belum saya perbaiki..:)
makasih sudah mampir dan membacanya...
sama-sama kita selalu belajar ya mbak... karena dunia anak ini gak pernah habis tantangan menulisnya...:)
aku udah baca sampe bolak balik uni seneng banget ceritanya baguuusss
ReplyDeletekalau bolak balik, kog kayak orang sakit perut gitu ya cici..hihhii..
Deletemakasih ya udah mampir sini :)