negara Filipina |
“Ayah,
terakhir ke Filipina kapan?” Saya langsung menanyakan hal itu, ketika melihat
tantangan ngeblog #10daysforasean bertema Filipina.
“Tahun
2004. Kenapa” Tanya suami saya ingin tahu.
“Kondisi
negaranya gimana? Maksud Bunda, kebebasan berekspresi dan informasinya gimana?”
Tanya saya dengan rasa ingin tahu. Maklum, saya tak pernah ke Filipina,
sementara suami selama bekerja sebagai pelaut hingga tahun 2004, bolak-balik ke
Filipina dan sekitarnya.
“Oh,
sampai tahun 2004 sih mereka termasuk bebas.” Jawab suami saya singkat.
“Bebas
gimana?” desak saya.
“Ya
bebas. Terutama urusan pergaulan, pornografi, film dan dunia entertainment.
Tidak ada sensor terhadap gambar yang ada di televisi atau bahkan di koran.
Pose orang berhubungan badan pun terpampang bebas di sana,” jabar Suami.
Tapi
saya tidak puas dengan sekedar gambaran itu. Karena yang ditanyakan adalah
Apakah Filipina termasuk negara yang longgar dalam kebebasan berekspresi dan
informasi bagi para warganya, termasuk blogger atau jurnalis warga? Bukan
sekedar informasi terkait masalah porno atau sex.
“Lho,
kalau urusan sex dan porno saja, mereka bebas, bukankah logikanya, urusan lain,
mereka juga bebas?” debat suami.
Tapi
lagi-lagi saya tak bisa menerima mentah-mentah logika tersebut. Meski sebagai
ibu rumah tangga saya sering juga berlogika sederhana, tapi untuk permasalahan
terkait kebebeasan berekspresi dan informatika bagi blogger atau jurnalis
warga, tentu harus dianalisis lebih sedikit mendalam.
Otak sederhana saya memulai kerjanya dengan mengajukan banyak pertanyaan. Seperti
apakah Negara Philipina terkait kondisi negaranya? Lalu apa itu definisi
kebebasan berekspresi dan informasi itu? Bagaimana proses lahirnya kebebasan
berekspresi dan informasi itu? Dan pada akhirnya akan dilihat Apa batasan
kebebasan berekspresi dan informasi di negara Philipina? Bagaimana jika
dibandingkan dengan Indonesia? Terakhir Apa sebenarnya tujuan kebebasan
berekspresi dan informasi itu?
koran Filipina |
Tentu
tidak mudah menjawab banyaknya pertanyaan-pertanyaan tersebut. Senjata goggling
juga tak pasti dapat menjawab semuanya. Namun, tak ada salahnya kita tetap
berusaha menganalisanya dengan pola sederhana tersebut.
Kebebasan
berekspresi dan informasi terdiri dari tiga kata, yakni kebebasan, ekspresi dan
informasi. Makna kebebasan adalah dalam keadaan bebas atau merdeka.[i]
Kata ekspresi berarti pengungkapan atau proses menyatakan (yaitu memperlihatkan
atau menyatakan maksud, gagasan dan perasaan).[ii]
Sedangkan informasi adalah pemberitahuan, penerangan atas kabar atau berita
tentang sesuatu.[iii]
Dengan
demikian, tema utama dari pembahasan ini adalah masalah kebebasan atau
kemerdekaan dalam mengungkapkan maksud, gagasan dan perasaan akan sesuatu dan
juga terkait masalah penerangan atas kebar atau berita tentang sesuatu.
Kemudian,
baru dikaitkan pada kondisi negara Filipina itu sendiri. Sebenarkan, sebelum
tahun 1946, kondisi negara Filipina adalah negara yang maju. Namun seperti
layaknya negara-negara yang baru merdeka, kondisi penyitaan kekayaan oleh
pemerintah, lalu korupsi yang terjadi di segala bidang mempengaruhi kondisi
perekonomian negara ini. Namun, hal ini tak mempengaruhi kebebasan berekspresi
di bidang seni dan budaya. Karena masyarakat negara ini sangat menyukai dunia
menyanyi dan menari.
Pengaruh
budaya barat (dalam hal ini Spanyol dan Amerika Serikat) sangat kental di
penjuru negara. Mulai dari bahasa, pola pikir, sistem pendidikan hingga sistem
pemerintahan. Tak heran, jika Filipina sempat dinyatakan sebagai negara paling demokratis
se Asia. [iv]
Jika
melihat kondisi Filipina dan latar belakang negara tersebut, sebetulnya tak
heran bila kita mengambil simpulan sementara, bahwa mungkin Filipina adalah
negara yang memerdekakan masyarakatnya dalam berekspresi dan menyebarkan
informasi. Karena bisa jadi proses kebebasan itu dipengaruhi pendidikan barat
yang kental di penjuru negara, belum lagi cap sebagai negara paling Demokratis.
Namun,
apakah demikian faktanya? Berbagai berita dilansir oleh Freedomhouse.org
menceritakan hal yang kontras. Karena begitu banyaknya orang-orang bebas
berekspresi di dunia maya atau menyebarkan informasi secara bebas terkait
kondisi politik negara, berakhir mengenaskan. Perjalanan ketentuan hukum dan
undang-undang terkait kebebasan berekspresi dan informasi ini berakhir kurang
menarik, apalagi dengan lahirnya Cyber Prevention Act of 2012.[v]
Jadi ada pembatasn atau ruang yang
dipersempit oleh pemerintah Filipina terkait kebebasan berekspresi dan informasi
di dunia maya. Sementara ini, urusan blogger dan postingan yang tak terkait
unsur pornograpi, Indonesia selangkah lebih unggul dari Filipina, meski tak
tahu apa yang terjadi di kemudian hari, jika pemerintah Indonesia juga membuat
UU terkait masalah kebebasan di dunia maya.
Pada akhirnya, negara yang
disebut-sebut sebagai negara paling demokrasi di ASIA itu akan bergeser
pemaknaan demokrasinya, akibat munculnya UU yang menekan kebebasan berekspresi
dan informasi para jurnal warganya. Kondisi Filipina ini patut kita jadikan
contoh, karena bisa jadi, pemerintah Indonesia akan melakukan hal yang sama.
Gerah karena dikritik para blogger atau jurnalis warga, sehingga menggunakan
senjata pamungkas, berupa ketetapan UU. Bahkan berita terbaru tentang Filipina terkait kebebasan berekspresi dan informasinya cukup membuat jeri. Karena Filipina termasuk negara ke tiga yang perlu diwaspadai oleh para jurnalis dunia. Banyaknya kematian para jurnalis dengan beragam penyebab, patut menjadi pertimbangan, bahwa ternyata ada batasan yang ketat dalam urusan kebebasan informasi di Filipina.
kebebasan? |
Tapi, sulit sebenarnya membendung kekuatan kebebasan berekspresi dan informasi di dunia maya. Saya ingat ketika berada di kota Guangzhou, yang juga mempersempit ruang bloggernya
dengan memblock beberapa situs atau jejaring sosial. Tapi dunia internet ini
mana ada yang gak bisa di “crack” atau dijebol. Jadi setelah bergabung di
jejaring sosial kaskus yang tak diblokir China, saya diberi kode crack oleh
teman-teman di sana, tak lama, saya pun berselancar dengan nyaman, fesbukan,
ngempi, ngewipi dan ngeblogspot.
Saya pikir, pemerintah Indonesia
harus belajar banyak terhadap negara Filipina, untuk hati-hati melangkah dalam
mengeluarkan atau melahirkan satu aturan
terkait dunia maya atau dalam hal ini sebagai bagian kebebasan
berekspresi dan informasi. Karena kebebasan yang ditahan, lama-lama justru akan
berbahaya.
[iv]
Detailnya dapat dibaca di : http://id.wikipedia.org/wiki/Filipina
[v]
Detailnya bisa dibaca di http://www.freedomhouse.org/report/freedom-world/2013/philippines
dan http://www.freedomhouse.org/article/cybercrime-prevention-act-could-curtail-internet-freedom-philippines.
Secara keselurhan UU Pencegahan Kejahatan di Dunia Maya 2012 ini mengatur
mengenai cybersex, cybersquatting, children pornographi, stolen identity,
ilegal access sampai dengan masalah pencemaran nama baik. UU ini termasuk yang
mempersempit ruang gerak para blogger.
Di sini pun juga demikian. Tidak ada jaminan para wartawan akan selamat bila menyuarakan kebenaran, meng-kritik penguasa, menelanjangi kejahatan pengelola negeri ini. Sehingga para wartawan itu kemudian berlindung dibalik akun anonim untuk menjadi jurnalis independen.
ReplyDeleteDan akun-akun anonim tersebut nyatanya lebih bersuara daripada media-media mainstream. Namun demikian karena berasal dari sumber yang tidak jelas penulisnya, sebagai umat Islam wajib untuk memverifikasi isi berita yang disampaikan.
Jika boleh berhitung secara matematika, negara Filipina jauh lebih mengerikan dalam urusan "tak ada jaminan para wartawan selamat" itu lho mas iwan.
Deletekarena di sana nyaris tiap bulan 2-3 orang wartawan yang mati atau hilang.
terkait ngeblog, di sana juga aturan hukumnya memperketat segala urusan dunia maya. sementara di indonesia belum. (paling tidak menurut saya belum :))
makasih sharingnya mas... setuju dengan kewajiban memverifikasi isi berita, karena seringnya hoax atau berita di negara mana, dipalsukan terjadi di negara lain ya?