Sep 1, 2013

Day #7 : Bagaimana Bila Ibu Rumah Tangga Ditanya Perihal Sengketa Perbatasan Singapura dan Malaysia?



           Jika sekedar mengenal kata konflik atau sengketa, mungkin bukanlah hal yang aneh didengar oleh seorang Ibu rumah tangga. Karena, sebagai mahluk sosial, kehidupan manusia pasti diwarnai dengan konflik. Benturan-benturan kepentingan antara manusia itulah yang sering dikenal sebagai sengketa. Di lingkungan rumah tangga sendiri, setiap benturan kepentingan antar individu dalam rumah tangga, sudah bisa dipastikan menimbulkan konflik. Sederhananya, mulai dari berebut siapa duluan yang masuk kamar mandi, bekal apa yang harus dibawa si anak hari ini, hingga perihal wilayah bermain anak-anak pun dapat menimbulkan konflik.

          Namun, ketika pertanyaan yang diajukan seputar konflik yang diberikan kepada saya, adalah bagaimana pendapat saya terhadap sengketa Pedra Braca (Pulai Batu Puteh) yang diperebutkan oleh Malaysia dan Singapura? Setelah bagaimana upaya penyelesaian konflik tersebut? Serta bagaimana jika dikaitkandengan komunitas ASEAN? Maka, tentu reaksi yang muncul terlebih dahulu adalah kening saya yang berkerut.

          Kali ini, tak bisa sesederhana menganalisis Laos sebagai bumbu masak dengan Laos sebagai anggota ASEAN belaka, atau menggali kesamaan candi saja. Untuk pertanyaan sejenis ini, dibutuhkan buku yang banyak, pengetahuan yang luas serta jangkauan penelitian yang dalam.

          Tapi, tunggu dulu. Bukankah yang mencoba menjawab hanyalah seorang ibu rumah tangga? Mengapa harus sejauh itu menganalisisnya, jika ternyata masih bisa dicoba pisau analisis filsafat? Karena sebagaimana diketahui, penguraian masalah atau menjawab masalah dari sudut pandang filsafat,  hanyalah mempertanyakan perihal apa? Bagaimana? Dan manfaat atau tujuannya apa?

          Mari, sekarang kita coba telaah perihal sengketa Singapura dan Malaysia tersebut, dengan mengurai persoalan melalui pertanyaan-pertanyaan yang bisa membantu saya dan juga para pembaca menilai, sejauh mana masalah ini bisa kita cerna.

keadaan pulau batu puteh. di belakangnya ada Middle Rock yang diberikan ke pihak Malaysia

Pertama, tentu perlu diketahui, Apa itu sengketa perbatasan? Selanjutnya bagaimana bisa terjadi sengketa perbatasan? Bagaimana dengan sengketa Pedra Braca (Pulau batu puteh) antara malaysia dan singapura? Serta bagaimana sikap komunitas ASEAN memandang ini? Diakhir pembahasan, akan dicoba untuk melihat lebih jauh, apa manfaat dipelajarinya sengketa ini? apa tujuan dicari penyebab sengketa? Mengapa diperlukan penyelesaian konflik bagi satu sengketa internasional?

          Dengan mengurai pokok permasalah menjadi pertanyaan-pertanyaan kecil demikian, diharapkan seorang ibu rumah tangga pun, mampu mencerna masalah yang muncul.

          Jadi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan sengketa perbatasan?  Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia, sengketa merupakan sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan. Misalnya daerah sengketa berarti daerah yang menjadi rebutan (pokok pertengkaran). Sementara makna perbatasan adalah daerah atau jalur pemisah antara unit-unit politik (negara) atau daerah dekat batas.[i]

          Dengan demikian, makna sengketa perbatasan adalah perbedaan pendapat mengenai daerah atau jalur pemisah antara negara, atau daerah dekat batas.

          Selanjutnya, mengapa daerah pemisah antara negara ini bisa memicu sebuah sengketa? Penyebabnya bisa beragam. Namun satu hal yang sering memicu sengketa adalah Ketidaksepahaman mengenai garis perbatasan antar negara yang belum terselesaikan melalui mekanisme perundingan.[ii] Atau bisa saja terkait adanya Sumber Daya Alam.[iii]

          Bila dikaitkan dengan sengketa Pulau Batu Puteh ( Pedra Braca), maka pemicu sengketa adalah ketika tahun 1980an Malaysia memasukkan pulau tersebut dalam peta terbaru mereka. Sementara Singapura telah mengurusi pulau tersebut sejak lama. Posisi Batu puteh yang strategis dari aspek maritim, menjadi alasan kuat bagi kedua negara untuk memilikinya. Dari sinilah muncul sengketa perbatasan terkait pulau tersebut.[iv]

          Berdasarkan bacaan yang ada, saya melihat bahwa,  pada akhirnya keputusan Mahkamah Internasional, menetapkan terjadinya peralihan penguasaan pulau, dari semula berdasarkan history, sebenarnya Pulau Batu Puteh itu adalah milik malaysia, menjadi milik Singapura. Alasan utamanya adalah tak berdasarkan letak pulau saja, tapi juga pemeliharaan pulau tersebut telah dilakukan oleh Singapura, dan Malaysia bertahun-tahun mendiamkannya.

sikap mendiamkan, ternyata tak bagus juga dilakukan

          Sikap mendiamkan ini dalam ilmu hukum internasional dikenal dengan istilah Preskripsi yakni perolehan satu wilayah, dengan cara menduduki sebuah wilayah dalam jangka waktu tertentu, secara terus menerus dengan sepengetahuan dan tanpa keberatan dari pemiliknya.

Dengan alasan inilah, Mahkamah Internasional memutuskan kedaulatan Pedra Braca (Pulau Batu Puteh) beralih ke Singpura, dengan dasar pertimbangan, bahwa faktanya, Malaysia yang awalnya memiliki hak kepemilikan awal pulau, tidak menunjukkan keberatannya, bahkan bersikap diam terhadap serangkaian tindakan Singapura di Pedra Braca/Pulau Batu Puteh dalam kuran waktu yang lama dan terus menerus, sampai kasus ini diajukan ke Mahkamah Internasional.[v]

          Lalu, bagaimana sikap komunitas ASEAN terhadap sengketa tersebut? Sependek pengetahuan yang saya dapatkan. Terhadap satu keputusan Mahkamah Internasional, maka sikap komunitas ASEAN adalah harus menghormati keputusan tersebut. Apalagi jika dua negara yang bersengketa akhirnya memilih sepakat atau patuh pada perjanjian tersebut. Bilamana di kemudian hari, muncul beragam konflik kecil atau tambahan dari konflik utama, bisa saja salah satu negara ASEAN lainnya menjadi mediator pertemuan berikutnya. Indonesia termasuk yang sering melakukan sikap sebagai mediator. Dalam konflik internasional, sikap menjadi mediator sangat dibutuhkan. Karena tak jarang, satu sengketa itu, tak sekedar masalah sederhana seperti perbatasan, namun juga alasan dari perebutan perbatasan, bisa jadi terkait dengan masalah Marwah atau Harga Diri sebagai satu negara.

          Jika kita menilik persoalan sengketa Malaysia dengan Singapura di atas, satu manfaat utama yang bisa ditangkap adalah, bahwa satu negara jangan bersikap diam terhadap batas wilayah negaranya. Malaysia yang bersikap diam dan diterima sebagai sikap tak keberatan atas perlakuan Singapura terhadap Pulau Batu Puteh, patut menjadi pelajaran berharga bagi negara kepulauan di ASEAN. Indonesia sering bersikap demikian. Karenanya, jangan heran, jika di kemudian hari, akan ada banyak kasus persengketaaan perbatasan ini, jika digunakan alas hukum Preskripsi, Indonesia akan kehilangan banyak pulau-pulaunya.

          Pada dasarnya, penanganan sengketa perbatasan ini tak bisa diselesaikan hanya sebatas teori tentang benar atau salah, atau tentang sesuai atau tidak. Yang dibutuhkan sebenarnya sepakat atas solusi yang diberikan oleh hukum internasional. Jika kedua pihak yang bersengketa lalu sepakat atau putusan Mahkamah Internasional, maka bisa dipastikan setiap sengketa yang muncul di komunitas ASEAN dapat segera ditangani.

sepakat bergandengan tangan dalam setiap menghadapi konflik


Dengan demikian, sudah didapat satu gambaran, pentingnya penyelesaian konflik sengketa perbatasan di komunitas ASEAN ini, karena sebagai keluarga besar yang bersiap-siap menghadapi era pasar bebas di tahun 2015, ASEAN tak harus selalu dipusingkan dengan adanya sengketa perbatasan yang baru. Karena diharapkan setiap sengketa yang telah terjadi, diambil manfaat pelajarannya. Agar ke depan, konflik yang muncul lebih kecil dan tak merugikan komunitas ASEAN secara keseluruhan.

No comments:

Post a Comment