Jika sekedar mengenal kata konflik atau sengketa, mungkin
bukanlah hal yang aneh didengar oleh seorang Ibu rumah tangga. Karena, sebagai
mahluk sosial, kehidupan manusia pasti diwarnai dengan konflik.
Benturan-benturan kepentingan antara manusia itulah yang sering dikenal sebagai
sengketa. Di lingkungan rumah tangga sendiri, setiap benturan kepentingan antar
individu dalam rumah tangga, sudah bisa dipastikan menimbulkan konflik.
Sederhananya, mulai dari berebut siapa duluan yang masuk kamar mandi, bekal apa
yang harus dibawa si anak hari ini, hingga perihal wilayah bermain anak-anak
pun dapat menimbulkan konflik.
Namun, ketika pertanyaan yang diajukan seputar konflik yang
diberikan kepada saya, adalah bagaimana pendapat saya terhadap sengketa Pedra
Braca (Pulai Batu Puteh) yang diperebutkan oleh Malaysia dan Singapura? Setelah
bagaimana upaya penyelesaian konflik tersebut? Serta bagaimana jika dikaitkandengan komunitas ASEAN? Maka, tentu reaksi yang muncul terlebih dahulu adalah
kening saya yang berkerut.
Kali ini, tak bisa sesederhana menganalisis Laos sebagai
bumbu masak dengan Laos sebagai anggota ASEAN belaka, atau menggali kesamaan
candi saja. Untuk pertanyaan sejenis ini, dibutuhkan buku yang banyak,
pengetahuan yang luas serta jangkauan penelitian yang dalam.
Tapi, tunggu dulu. Bukankah yang mencoba menjawab hanyalah
seorang ibu rumah tangga? Mengapa harus sejauh itu menganalisisnya, jika
ternyata masih bisa dicoba pisau analisis filsafat? Karena sebagaimana
diketahui, penguraian masalah atau menjawab masalah dari sudut pandang
filsafat, hanyalah mempertanyakan
perihal apa? Bagaimana? Dan manfaat atau tujuannya apa?
Mari, sekarang kita coba telaah perihal sengketa Singapura
dan Malaysia tersebut, dengan mengurai persoalan melalui pertanyaan-pertanyaan
yang bisa membantu saya dan juga para pembaca menilai, sejauh mana masalah ini
bisa kita cerna.
keadaan pulau batu puteh. di belakangnya ada Middle Rock yang diberikan ke pihak Malaysia |
Pertama,
tentu perlu diketahui, Apa itu sengketa perbatasan? Selanjutnya bagaimana bisa
terjadi sengketa perbatasan? Bagaimana dengan sengketa Pedra Braca (Pulau batu
puteh) antara malaysia dan singapura? Serta bagaimana sikap komunitas ASEAN
memandang ini? Diakhir pembahasan, akan dicoba untuk melihat lebih jauh, apa
manfaat dipelajarinya sengketa ini? apa tujuan dicari penyebab sengketa?
Mengapa diperlukan penyelesaian konflik bagi satu sengketa internasional?
Dengan mengurai pokok permasalah menjadi
pertanyaan-pertanyaan kecil demikian, diharapkan seorang ibu rumah tangga pun,
mampu mencerna masalah yang muncul.
Jadi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan sengketa
perbatasan? Berdasarkan kamus besar
bahasa Indonesia, sengketa merupakan sesuatu yang menyebabkan perbedaan
pendapat, pertengkaran, perbantahan. Misalnya daerah sengketa berarti daerah
yang menjadi rebutan (pokok pertengkaran). Sementara makna perbatasan adalah
daerah atau jalur pemisah antara unit-unit politik (negara) atau daerah dekat
batas.[i]
Dengan demikian, makna sengketa perbatasan adalah perbedaan
pendapat mengenai daerah atau jalur pemisah antara negara, atau daerah dekat
batas.
Selanjutnya, mengapa daerah pemisah antara negara ini bisa
memicu sebuah sengketa? Penyebabnya bisa beragam. Namun satu hal yang sering
memicu sengketa adalah Ketidaksepahaman mengenai garis perbatasan antar negara yang
belum terselesaikan melalui mekanisme perundingan.[ii]
Atau bisa saja terkait adanya Sumber Daya Alam.[iii]
Bila dikaitkan dengan sengketa Pulau Batu Puteh ( Pedra
Braca), maka pemicu sengketa adalah ketika tahun 1980an Malaysia memasukkan
pulau tersebut dalam peta terbaru mereka. Sementara Singapura telah mengurusi
pulau tersebut sejak lama. Posisi Batu puteh yang strategis dari aspek maritim,
menjadi alasan kuat bagi kedua negara untuk memilikinya. Dari sinilah muncul
sengketa perbatasan terkait pulau tersebut.[iv]
Berdasarkan bacaan yang ada, saya melihat bahwa, pada akhirnya keputusan Mahkamah
Internasional, menetapkan terjadinya peralihan penguasaan pulau, dari semula
berdasarkan history, sebenarnya Pulau Batu Puteh itu adalah milik malaysia,
menjadi milik Singapura. Alasan utamanya adalah tak berdasarkan letak pulau
saja, tapi juga pemeliharaan pulau tersebut telah dilakukan oleh Singapura, dan
Malaysia bertahun-tahun mendiamkannya.
sikap mendiamkan, ternyata tak bagus juga dilakukan |
Sikap mendiamkan ini dalam ilmu hukum internasional dikenal
dengan istilah Preskripsi yakni perolehan satu wilayah, dengan cara menduduki
sebuah wilayah dalam jangka waktu tertentu, secara terus menerus dengan
sepengetahuan dan tanpa keberatan dari pemiliknya.
Dengan
alasan inilah, Mahkamah Internasional memutuskan kedaulatan Pedra Braca (Pulau
Batu Puteh) beralih ke Singpura, dengan dasar pertimbangan, bahwa faktanya,
Malaysia yang awalnya memiliki hak kepemilikan awal pulau, tidak menunjukkan
keberatannya, bahkan bersikap diam terhadap serangkaian tindakan Singapura di
Pedra Braca/Pulau Batu Puteh dalam kuran waktu yang lama dan terus menerus,
sampai kasus ini diajukan ke Mahkamah Internasional.[v]
Lalu, bagaimana sikap komunitas ASEAN terhadap sengketa
tersebut? Sependek pengetahuan yang saya dapatkan. Terhadap satu keputusan
Mahkamah Internasional, maka sikap komunitas ASEAN adalah harus menghormati
keputusan tersebut. Apalagi jika dua negara yang bersengketa akhirnya memilih
sepakat atau patuh pada perjanjian tersebut. Bilamana di kemudian hari, muncul
beragam konflik kecil atau tambahan dari konflik utama, bisa saja salah satu
negara ASEAN lainnya menjadi mediator pertemuan berikutnya. Indonesia termasuk yang
sering melakukan sikap sebagai mediator. Dalam konflik internasional, sikap
menjadi mediator sangat dibutuhkan. Karena tak jarang, satu sengketa itu, tak
sekedar masalah sederhana seperti perbatasan, namun juga alasan dari perebutan
perbatasan, bisa jadi terkait dengan masalah Marwah atau Harga Diri sebagai
satu negara.
Jika kita menilik persoalan sengketa Malaysia dengan
Singapura di atas, satu manfaat utama yang bisa ditangkap adalah, bahwa satu
negara jangan bersikap diam terhadap batas wilayah negaranya. Malaysia yang
bersikap diam dan diterima sebagai sikap tak keberatan atas perlakuan Singapura
terhadap Pulau Batu Puteh, patut menjadi pelajaran berharga bagi negara
kepulauan di ASEAN. Indonesia sering bersikap demikian. Karenanya, jangan
heran, jika di kemudian hari, akan ada banyak kasus persengketaaan perbatasan
ini, jika digunakan alas hukum Preskripsi, Indonesia akan kehilangan banyak
pulau-pulaunya.
Pada dasarnya, penanganan sengketa perbatasan ini tak bisa
diselesaikan hanya sebatas teori tentang benar atau salah, atau tentang sesuai atau
tidak. Yang dibutuhkan sebenarnya sepakat atas solusi yang diberikan oleh hukum
internasional. Jika kedua pihak yang bersengketa lalu sepakat atau putusan
Mahkamah Internasional, maka bisa dipastikan setiap sengketa yang muncul di
komunitas ASEAN dapat segera ditangani.
sepakat bergandengan tangan dalam setiap menghadapi konflik |
Dengan
demikian, sudah didapat satu gambaran, pentingnya penyelesaian konflik sengketa
perbatasan di komunitas ASEAN ini, karena sebagai keluarga besar yang
bersiap-siap menghadapi era pasar bebas di tahun 2015, ASEAN tak harus selalu dipusingkan
dengan adanya sengketa perbatasan yang baru. Karena diharapkan setiap sengketa
yang telah terjadi, diambil manfaat pelajarannya. Agar ke depan, konflik yang
muncul lebih kecil dan tak merugikan komunitas ASEAN secara keseluruhan.
No comments:
Post a Comment