*tulisan ini sudah diedit
ulang, sebelumnya diposting di komunitas Taraje , tgl 24 Mei 2013.
Judul
di atas, adalah pertanyaan yang sering ditanyakan teman-teman dekatku. Bahkan
ada yang “keras” membuat pernyataan, “Lo gak akan kaya dengan menulis
cerita anak, Dian! Jangan mimpi akan ada JK Rowling jilid 2!
Hehehe,
terus terang, mana ada orang bekerja, apalagi bekerja di dunia yang disukainya,
dalam hal ini menulis, yang juga tak ingin kaya? Kan asyik ya, kalau kita tak
hanya kaya hati, lalu dituliskan isi hati kita dalam bentuk buku, lalu jadi
kaya materi?
Kembali
ke pertanyaan di atas, maka jawaban sederhananya, adalah karena niat awal
menulis, cenderung pada cerita anak. Inilah yang akhirnya, akan membedakan tiap-tiap
penulis yang ada, di genre manapun.
Ada
beberapa teman, menulis cerita anak, sekedar ingin tahu. Bagaimana sih, rasanya
menulis cerita anak? Lalu, setelah berhasil menuliskannya atau punya 1-2 buku, ia
beralih ke genre lain.
Apakah
ini salah? Tentu saja, tidak!
Hanya
saja, cuma sedikit orang-orang yang memang mampu berada di banyak genre
tulisan. Sementara banyak yang justru akhirnya tak fokus dan hilang ditelan
kompetisi dunia menulis yang semakin ketat.
Ada
beberapa teman (penulis) lain, yang justru sangat berbakat menulis cerita
(anak) dan tekun bin fokus menjalaninya. Akhirnya menduduki posisi-posisi
menarik dan bagus di dunia menulis cerita anak
Lalu,
kalau seperti aku? Termasuk jenis penulis yang manakah?
Boleh
dibilang, aku termasuk penulis yang mengandalkan 99% kerja keras, karena hanya
memiliki 1% bakat menulis. Dengan kata lain, aku tak memiliki bakat menulis
yang menonjol, namun mau belajar sungguh-sungguh untuk menulis cerita anak.
Niat
utamaku sebenarnya adalah sekedar menginginkan anak-anakku kelak gembira
membaca tulisan yang kubuat. Namun, tak kupungkiri, jika lewat menulis ini lalu
jadi ada nilai ekonominya, tentu tak kutolak. Siapa tahu bisa kayak seperti JK
Rowling –meski mustahil, tapi jika ternyata benar-benar terjadi di Indonesia,
saya tentu mau ^_^V.
Sesederhana
itukah niat awalku? Yup! Sesederhana itu.
Jika
pada akhirnya, aku malah keasyikan menulis novel anak, cerpen anak dan juga
kumpulan dongeng… itu terjadi karena proses (by process not by design), diiringi
kerja keras dan niat yang kuat.
Lalu,
apakah prosesku menjadi penulis cerita anak semudah itu? Jelas tidak!
Terus
terang, aku tidak tahu teori-teori menulis cerita. Di awal pembelajaranku, aku
tak mengerti definisi karakter, tentang bahasa menganak, plot, alur dan
lain-lain.
Please,
jangan tanya mengenai teori-teorinya. Aku akan kesulitan menjelaskan
berdasarkan text book. Jika ada pertanyaan yang diajukan pada diriku, akan
kujawab berdasarkan pengalaman yang kumiliki.
Ketika
pertama kali terjun ke dunia menulis cerita anak, yang kulakukan adalah membaca
dan membaca. Kupergunakan kebiasaan meneliti dan riset selama menjadi dosen di
kampus. Sistem riset ini selalu digunakan ketika menulis bacaan-bacaan anak.
Dari
sana, kubuat “modul” atau “ringkasan” sendiri. Baru kemudian kumulai menulis
dan menulis.
Selama
menulis, aku tak perduli teori. Patokannya hanyalah draft naskah, timeline yang
kubuat dan ukur sesuai kemampuan serta kondisi ketika menulis.
Kemudian,
edit dan edit naskah berkali-kali.
Berlanjut,
untuk memperbaiki kualitas menulis, maka kucari “guru”. Mulai dari yang
gratisan, seperti di blogfam (2010) hingga kelas Malam Minggunya TASARO (2013).
Aku juga ikut dalam beberapa kelas online yang berbayar.
Dari
sini semuanya kembali berproses.
Hingga
tanpa disadari, sejak tahun 2009, ketika pertama kali menulis cernak untuk
lomba majalah Bobo (berhasil masuk jajaran pemenang harapan, yang
akhirnya memboosting semangat menulisku), akhirnya, di tahun ini (2013), dapat
menghasilkan 5 novel anak, 1 buku genius kid (sbg co-writer), lalu 3 cernak
tergabung dalam 3 buku kumcernak, di berbagai penerbit mayor (Tiga Ananda,
Dar!Mizan, Bentang Belia, Pelangi Indonesia, Pustaka Ola, dan Talikata).
No comments:
Post a Comment