Tulisanku pada buku Long Distance Love |
Setahun setelah tulisan pertamaku masuk
dalam buku antologi Persembahan Cinta (disusun oleh Pipiet Senja, dan merupakan
tulisan perdanaku yang muncul di dalam sebuah kumpulan kisah). Aku tak begitu mengikuti lagi kegiatan tulis
menulis. Hanya saja, kala itu, teman di kontak multiplyku bertambah satu orang.
Yakni Imazahra.
Awalnya memang maju mundur mau berteman
dengan Ima yang super sibuk dan hobby backpacker itu. Namun ketika aku tahu, ia
juga suspect PCO seperti diriku [Ini hikmah suka blog walking ya, jadi bisa
ketemu teman lewat cara yang unik], lalu aku PM Ima untuk ngajak ngobrol
perihal PCO.
Aku memang pasien suspect PCO, dan kala
berteman dengan Ima itu, aku masih dalam proses terapi dengan Dokter Yuslam Edi
Fidianto di RS Pondok Indah.
Obrolanku dan Ima pun jadi panjang dan
mengarah pada cerita kehidupanku sebagai istri MANTAN pelaut. Yups, Bang Asis –suamiku-
sejak tahun 2005 telah pindah pekerjaan, tidak berlayar lagi, meskipun tetap
menjadi kapten yang bertugas sebagai Mooring Master di sebuah terminal kapal
bunker di Laut Jawa sana.
Ima seperti biasa, sangat antusias membahas
ini dan ujung-ujungnya mengajakku untuk ikut serta dalam proyek pribadinya. Ia
tengah menggarap buku antologi yang disusunnya, mulai dari siapa yang diajaknya
menulis, hingga cover dan pengaturan royalti. Semua dilakukannya dengan sangat
terbuka dalam bentuk PM bagi seluruh kontributor.
Sebuah berkah bagiku, karena ikut serta
dalam proyek Ima ini membuatku jadi kenal banyak orang baik dan keren di
Multiply. *Nanti akan aku sebutkan siapa saja orang-orang itu ya? ^_^
Aku, si new comer di
dunia penulisan, diundang menulis oleh seseorang yang full of writing
spirit seperti Imazahra, tentulah akan tertarik dan ikut tersemangati.
Aku mulai menuliskan sebuah naskah,
terus terang aku lupa judul awalnya. Karena nanti judul yang tercantum di buku
itu, adalah judul pemberian dari Imazahra.
Saat itu, alhamdulillah, awal Februari
2008, aku mengalami mual-mual. Allah yang Maha Pengatur, telah mengatur bahwa
setelah berhasil sabar selama 9 tahun menanti keturunan, akhirnya Allah
percayakan juga aku dan Bang Asis memiliki keturunan.
Aku paksakan diri ini menulis dalam
keadaan mual. Boleh dibilang, menulis naskah untuk menjadi bagian dari antologi
Long Distance Love ini adalah cobaan buatku. Karena saat hamil, aku benar-benar
tak suka melihat buku tebal dan komputer.
Ujung-ujungnya, baru beberapa paragraf
menulis, aku lari ke kamar mandi dan muntah. Tak terlalu parah sih. Karena
memang morning sickness-ku masih bisa kukontrol.
Aku tidak tahu bagaimana hasilnya.
Seperti biasa, aku hanya menuliiisss saja tanpa memperhatikan EYD dan hasil
akhir. Ah, kalau urusan menceritakan jarak pemisah antara aku dan suami,
mungkin 10 halaman itu kurang, hehehe. Aku rasa selama menuliskan naskah itu,
aku cukup mengingat beberapa adegan kehidupanku bersama suami. Ini bukan
perihal yang sulit untukku.
Apalagi proses perkenalan kami secara
pribadi selama ini memang hanya lewat surat dan baru beradaptasi setelah
menikah, karena tidak melewati fase pacaran seperti orang lain. Sehingga banyak
moment yang membekas di hati, dan itu saja yang kutulis dalam naskah tersebut.
Satu hal yang pasti, aku belajar mencari
sudut pandang yang fokus dan tak melebar. Ketika menuliskan naskah itu, aku
hanya fokus pada latar belakang aku menikah dgn seorang pelaut, serta ikatan
apa yang membuat kami menjadi kuat meski jarak memisahkan. Jadi tak hanya
cinta, namun takut pada Allah serta kepercayaan menjadi inti tulisanku.
Aku belajar untuk tak melebarkan isi
cerita, karena memang jumlah halaman naskah yang dibatasi, membuatku harus bisa
membuat ending yang cepat namun tidak terlalu “bergantung”.
Aku tak punya tips apa pun, hanya menulis, mencoba ambil satu moment saja dan
belajar fokus di satu tema yang aku pilih.
Jika di buku Persembahan Cinta, aku
menceritakan karakter Bang Asis, maka di buku Long Distance Love ini aku
menceritakan suka duka menjadi istri pelaut serta pengikat kuat hubungan jarak
jauh kami itu.
Kisah duka seperti sulitnya signal
handphone, menjadi salah satu topik tulisanku, dan pada intinya aku menuliskan
bahwa sikap saling mempercayai satu sama lain dan takut dengan Allah adalah
kunci kesetiaan kami berdua satu sama lain. Tak pernah terbersit rasa takut dan
cemburu pada diri seorang Pelaut bernama Onasis, demikian pula sebaliknya, tak
ada rasa khawatir dari seorang Onasis mengenai kesetiaan diriku. Kuncinya ya
itu tadi, Kepercayaan. Alhamdulillah, bertahun menjadi istri Pelaut, aku tak
pernah goyah, dengan beragam selentingan aneh di sekitar kami.
Tulisan itu cukup cepat kuselesaikan.
Aku tidak tahan berlama-lama depan komputer. Rasa mual itu selalu menyertaiku
setiap kali layar komputer aku buka. Aku coba menuliskannya di atas kertas, aku
rapikan di word dan dalam hitungan 1-2 hari selesai. Kukirim kepada Imazahra.
Beruntung naskah itu tidak dikembalikan olehnya, dan kuperhatikan hanya pilihan
kata pada beberapa kata yang diubah oleh Ima.
Alhamdulillah.
Akhirnya, tulisanku yang berganti judul
menjadi “Kepercayaan, Sebuah Laut Tanpa Tepi,” berbaris rapi di halaman 193 –
201. Bersama teman-teman multiply lainnya seperti : Suci
Al sadiq, Rosita Sihombing, Titin Fatimah, Eva. Y. Nukman, Dian Akbas, Desti J.
Basuki, Fita Chakra, Yudith Fabiola, Andi Sri Suriati Amal, Shanti Saptaning,
Alan Ridlon S, Irawati Prilia, Wiwit Wijayanti, Syaifuddin, Dani Ardiansyah,
Zakiah Dauli, Etta Erinda, Leila Niwanda, Vanny Mediana, Liza Anggraeny, Revina
Octavianita, Indah IP dan Imazahra.
Nyaris 95% dari kontributor tersebut
menjadi temanku baik di Multiply dan Fesbuk hingga hari ini. Alhamdulillah
masih terus bersilaturahim. Makanya, aku tak pernah putus mengucapkan terima
kasih pada Ima yang telah membuka pintu kepenulisan dan pertemananku dengan
mereka.
Sejak itu, aku mulai belajar apa itu
menulis cerita FAKSI [non fiksi yang ditulis dengan alur fiksi] serta bagaimana
cara mempromosikan buku [ Buku LDL ini menjadi best seller di tahun 2009 – 2010
dan terpilih menjadi salah satu nominasi buku terbaik pilihan pembaca goodreads
serta pemenang cover non fiksi terbaik di ajang yang sama].
Pelajaran berharga ini terus kukenang.
Meskipun, aku tahu, cara menulisku masih belum maksimal. Masih banyak yang aku
harus pelajari. Satu hal yang pasti, sejak buku LDL ini, aku mulai melirik
dunia menulis. Aku mulai jatuh hati pada dunia kepenulisan.
No comments:
Post a Comment