Me and my husband. One year after marriage. |
Asap kopi mengepul, bermain indah di atas cangkir buatan China. Di sebelahnya, segelas besar teh hangat, bersanding gagah menemani roti bakar berbalut mentega.
Dari teras belakang rumah, Sang Perempuan menghirup udara pagi. Ia menunggu. Perlahan tangan kirinya menyentuh jari manis yang dihiasi sebuah cincin emas bermata berlian.
“Ah…, 40 tahun sudah.” Bisiknya perlahan, seolah-olah ada teman berbicara di sisinya. Sesaat matanya terasa panas. Ia bertahan untuk tidak membiarkan aliran air mata menetes. Tidak kali ini.
Diliriknya cangkir kopi dan seketika itu, hidungnya mencium aroma memikat khas kopi dari Lahat. Kesedapan kopi memenuhi rongga dadanya.
Matanya melirik arah jam tangan. Pukul 9 pagi. Waktu yang sama dengan pengesahan pernikahannya 40 tahun lalu. Diraihnya perlahan cangkir kopi yang terseduh dengan pas. Bibirnya menempel lekat pada bibir cangkir. Menghirup perlahan air hitam pekat dan menengguknya sembaril memejamkan mata.
Perlahan, akhirnya air mata menyelusuri pipi tuanya yang masih cukup kencang untuk usia 60 tahun. Bahu tubuhnya kembali bergerak naik sedikit. Ia terlihat berusaha menenangkan diri dengan menarik nafas panjang, menanggulangi rasa kehilangan yang belum lama dihadapinya.
Aku hanya bisa mengintip di balik pintu belakang. “Aih, ternyata Mama masih terus saja melakukan ritual minum kopi dan menyiapkan segelas besar teh hangat untuk Papa.” Hatiku pilu.
Meski, tanah di makam Papa sudah tak merah lagi. Namun, ritual minum kopi dan teh itu, masih dilakukan. Meski kali ini, Mama sendirian.
Tanpa terasa, air mataku mengalir. Tapi tak banyak. Hatiku yang turut kehilangan, segera menyisipkan sepotong doa. Aku berdoa, semoga pernikahanku juga selanggeng ikatan pernikahan Mama dan Papa.
***
Total Kata : 250 Kata
Flash Fiction ini kutulis spontan di pagi hari ini. Mengenang 13 tahun lalu pernikahanku dengan Ayahnya (alm) Miftah, Billa dan Ammar. Semoga kelak pernikahan kami selanggeng pernikahan Mama dan (alm) Papa. Amin.
No comments:
Post a Comment